JAKARTA -Indonesia Economic Forum yang ke 7 mempertemukan para pemimpin politik, bisnis, pemerintah, pemrakarsa dan pemimpin komunitas untuk membahas visi Indonesia untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19. Forum ini pertama kalinya diselenggarakan secara virtual pada Selasa-Kamis, 24-26 November 2020, dengan mengusung tema 2020 Vision: Rebooting Economic Growth Post Covid-19.
Shoeb Kagda selaku Founder & CEO Indonesia Economic Forum mengatakan, saat ini semakin banyak institusi dan investor yang mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti dampak lingkungan dan sosial dari investasi mereka. Menurut Global Sustainable Investment Alliance (GSIA), hampir 30% dari semua aset yang diinvestasikan pada 2018 adalah ‘investasi yang bertanggung jawab secara sosial’ yang memperhitungkan masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
“Indonesia juga sedang bergerak ke arah itu melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Diperkirakan, setiap tahunnya kebutuhan investasi tersebut mencapai US$ 300 miliar hingga US$ 500 miliar. Sebagian besar investasi ini akan dibutuhkan di sektor- sektor penting seperti infrastruktur dan sektor yang sensitif terhadap lingkungan seperti pertanian, kehutanan, energi, pertambangan, dan limbah,” kata Shoeb.
Sean Henderson, Managing Director & Co Head of Debt Capital Markets Asia Pacific HSBC mengatakan, pasar obligasi berkelanjutan merupakan pasar yang bergerak sangat cepat.
“Obligasi Hijau dan Sosial adalah pasar yang saat ini berkembang pesat, dari hanya senilai US$ 15 miliar yang diterbitkan pada 2015 menjadi US$ 110 miliar pada 2019. Kami bangga dapat bekerja sama dengan Republik Indonesia pada saat penerbitan obligasi hijau pertama. Salut kepada pemerintah atas upaya terobosan mereka untuk mengembangkan pasar obligasi hijau di Asia dan memperkenalkannya kepada investor di kawasan ini. Obligasi terkait keberlanjutan adalah bidang pengembangan yang baru dan menarik dan tidak hanya menitikberatkan faktor hijau, tetapi juga pada tujuan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, dan pengurangan polusi,” kata Sean.
Isabel Chatterton Regional Industry Director, Infrastructur and Natural Resources, Asia and Pacific, IFC mengatakan, sebagai institusi yang sudah menjalankan pembiayaan berkelanjutan selama 10-15 tahun, IFC telah terlibat dalam penerbitan obligasi berkelanjutan global pertama kalinya pada 2013 di pasar keuangan AS. Obligasi berkelanjutan yang terbit tujuh tahun lalu ini masih menjadi obligasi berkelanjutan terbesar yang ada di pasar hingga saat ini.
“Hingga hari ini, IFC telah menerbitkan obligasi berkelanjutan senilai US$ 10,4 miliar dalam 20 mata uang. Perkembangan di pasar ini sangat pesat dan kami juga berpikir cepat dan bertindak cepat sesuai dengan perkembangan yang ada di pasar. Hingga pertengahan tahun lalu, penerbitan obligasi berkelanjutan dimana kami berpartisipasi telah digunakan untuk membiayai 220 proyek dan harapannya bisa mengurangi jumlah emisi yang luar biasa, setara dengan 2,5 miliar galon bensin. Kami percaya bahwa IFC telah menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan,” kata Isabel.
Hendro Utomo, Rating Director Pefindo Rating Agency mengatakan dari sisi korporasi, masih ada ruang yang sangat besar untuk berkembangnya obligasi berkelanjutan. Di pasar obligasi konvensional sendiri, nilai penerbitan obligasi korporasi di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan ke negara lain. Dengan dukungan kebijakan dan framework dari pemerintah yang diterbitakan pada 2017, pasar obligasi korporasi berkelanjutan di Indonesia masih sangat potensial.
“Jika kita bandingkan penerbitan obligasi korporasi di Indonesia dengan sumber pembiayaan lain seperti pinjaman bank, rasionya jauh lebih kecil dari negara lain. Jadi menurut saya, obligasi korporasi Indonesia hanya mewakili kurang dari 10% dari pinjaman bank, sedangkan negara lain setahu saya sudah lebih dari 20%. Dan sayangnya, saya harus mengatakan bahwa korporasi itu sendiri tidak begitu aktif dalam hal produk obligasi berkelanjutan. Setahu saya hanya PT Sarana Multi Infrastruktur, perusahaan pembiayaan infrastruktur milik negara yang menerbitkan green bond pertama di Indonesia. Di luar itu, ada beberapa penerbit obligasi berkelanjutan, tetapi sebagian besar untuk pasar global yang berdenominasi dolar AS dan tidak terdaftar di pasar modal Indonesia. Artinya, kemungkinan besar dari sisi demand emiten lebih disukai untuk menerbitkan di pasar global dari pada di pasar lokal,” kata Hendro.
Mervyn Tang, Senior Director and Global Head of ESG Research Fitch Ratings mengatakan kebanyakan bank dan investor memerhatikan ESG, bukan iklim seperti hutan, kelangkaan air, keamanan siber, dan lainnya. Dibandingkan dengan AS dan Eropa, di APAC sendiri, perkembangan obligasi berkelanjutan berjalan lamban namun juga ada perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Terkadang, pelaku pasar bisa mengembangkan frameworknya sendiri karena pendekatan ESG dimasing-masing kawasan berbeda. Di APAC, perekonomian kawasan ini lebih bergantung pada bahan bakar fosil sejauh ini dalam perekonomian.
“Jika orang bersedia membayar lebih untuk obligasi berkelanjutan, mereka berpotensi mendapatkan keuntungan dari perspektif pembiayaan. Sementara jika orang mulai mengecualikan instrumen atau proyek brown seperti bahan bakar fosil, akan ada keterbatasan pembiayaan bagi perusahaan – perusahaan tertentu. Bagi APAC sendiri dan Indonesia, masih banyak ruang yang bisa dimanfaatkan seperti misalnya pembiayaan yang berfokus pada kehutanan berkelanjutan,” kata dia.